Bubi Chen Curhat

Saya dan Bubi Chen

PENUNDAAN jadwal penerbangan Garuda selama satu setengah jam membuat saya bertemu Bubi Chen, virtuoso piano jazz kenamaan negeri ini. Pas mau menuju terminal Bandara A Yani Semarang untuk akses internet hotspot gratis karena ada PR yang belum klaar, eh saya lihat Om Bubi lagi minum teh bareng manajernya, Fenny, di sebuah coffee shop. Saya langsung nyamperin dan bersalaman. Rupaya, Fenny masih ingat saya dan ngajak ngeteh bareng. 

Kesempatan itu tak saya sia-siakan untuk wawancara seputar Java Jazz 2008 yang akan saya liput di JCC Jakarta selama tiga hari (7-9 Maret). Sambil nunggu pesawat datang, kami pun ngobrol. Ternyata, Om Bubi antusias banget, malah seolah-olah dia ingin menumpahkan uneg-unegnya berkaitan dengan penyelenggaraan Java Jazz.

"Tambah tahun tambah gak genah," ujarnya. Saya langsung kaget mendengar pernyataan yang bernada serius itu. "Ini cuma pentas jazz-jazzan. Secara komersial memang berhasil dan tambah meriah namun secara esensi musik jazz berkurang. Porsi pemain jazz beneran dan jazz-jazzan 10 persen banding 90 persen. Ya mbok paling tidak 50 persen banding 50 persenlah," ujar pianis senior yang belum pernah absen dari Java Jazz ini.

Menurut pria berusia 70 tahun ini, kebanyakan musisi yang tampil dalam ajang jazz kaliber internasional tersebut memainkan musik blues, pop, malah R&B. "Ini namanya jazz-jazzan. Musik jazz tenggelam kalau caranya begini. Okelah bila memasukkan musik R&B atau pop untuk menarik penonton, tapi ya mbok jangan terlalu banyak porsinya." Yang lebih tidak mengenakkan adalah ketika Om Bubi mengaku diperlakukan kurang semestinya oleh panitia. "Java Jazz pertama bagus, baik pelayanan panitia maupun musisi yang ditampilkan. Sekarang kok tambah parah! Saya hanya dapat hotel satu kamar padahal kan saya membawa manajer. Minimal dua kamarlah." 

Tiket pesawat pun akhirnya dia beli sendiri karena pesawat yang dipesan panitia terbang lewat Solo karena disesuaikan dengan penerbangan sponsor. "Saya gak mau karena sudah bilang ingin berangkat dari Semarang karena saya memang sering mengajar di Semarang. Panitia tidak nguwongke kami para inlander (pribumi-Red)." Permbicaraan kami akhirnya terpotong karena tiba-tiba datang musisi senior Abadi Soesman menyapa Bubi Chen dan Garuda GA 239 sudah siap di apron menunggu kami untuk terbang ke Bandara Soekarno-Hatta. Ternyata, Bubi, Abadi Soesman, dan saya naik pesawat yang sama. (*)

Comments

Popular Posts