Bertahan dengan Benteng Tsunami

Dimuat di Suara Merdeka Senin, 30 Oktober 2006, Hal 1

Dinamika Negeri Sakura
(1)

Belum lama ini wartawan Suara Merdeka Asep Bina Septriono berada di Jepang untuk mengikuti program fellowship yang diselenggarakan Nihon Shinbun Kyokai (NSK) dan Confederation of ASEAN Journalists (CAJ). Beberapa pengalaman yang mengesankan diturunkan dalam tulisan mulai hari ini.

JEPANG menarik untuk dikunjungi karena sangat konsisten terhadap pelestarian tradisi dan budaya di tengah upaya pengembangan teknologi. Namun, negara kepulauan itu juga menakutkan untuk didatangi karena berbagai bencana alam, seperti topan, gempa, dan tsunami yang sering terjadi.
Selama sebulan mengunjungi beberapa daerah di Jepang bagian tengah dan selatan, setidaknya terjadi satu kali badai topan hebat dan dua kali gempa. Badai taifu juusan-go (topan ke-13) melanda kawasan selatan pada 17 September dan menelan sedikitnya delapan korban jiwa.
Topan di sana diberi nomor urut karena frekuensinya sering, rata-rata 25 kali dalam satu tahun. Gempa terjadi selama beberapa detik ketika saya sedang berjalan pulang dari Gedung Diet (legislatif) di pusat Kota Tokyo. Guncangan relatif kuat sehingga orang yang sedang berdiri atau berjalan terasa mau jatuh.
Seperti halnya Indonesia, Kepulauan Jepang sangat berpotensi diguncang gempa karena secara geografis terletak pada pertemuan beberapa lempeng tektonik. Kawasan Kanto yang di dalamnya termasuk Tokyo Metropolitan merupakan salah satu daerah paling rawan gempa.
Delapan puluh tiga tahun lalu, 1 September 1923, gempa berkekuatan 8,4 pada skala richter mengguncang Tokyo dan beberapa daerah sekitarnya di kawasan Kanto. Gempa ini menelan lebih dari 100.000 jiwa dan meluluhlantakkan bangunan.
Langkah Antisipatif
Para pakar memprediksi, gempa kanto akan terulang setiap 80-90 tahun sekali sehingga pemerintah menyikapinya dengan langkah-langkah antisipatif. Antara lain memasang sistem peringatan dini, melakukan sosialisasi dan latihan rutin, serta secara bertahap mengganti bangunan yang ada dengan konstruksi tahan gempa.
Pemerintah rutin mengadakan latihan kesiapan (preparedness drill) menghadapi gempa yang diikuti semua warga setiap 1 September sekaligus untuk memperingati bencana tersebut. Latihan digelar secara simultan di beberapa distrik penting di Tokyo.
Saya berkesempatan menyaksikan langsung latihan di tepi Sungai Arakawa. Latihan melibatkan belasan helikopter termasuk jenis jumbo Chinook, kendaraan pemadam kebakaran, dan puluhan perahu.
Kegiatannya meliputi latihan sistem peringatan dini (early warning sytem), evakuasi, pertolongan pertama terhadap korban, dan pemadaman kebakaran. Banyak pelajar termasuk anak TK ikut latihan ringan sebagai pengenalan sejak dini tentang penanganan gempa.
Yang menarik, dalam latihan itu juga disediakan mesin simulasi gempa berupa ruang kotak seluas 4 x 4 meter yang dilengkapi meja dan kursi. Ruang itu akan berguncang sesuai dengan skala seismik yang diinginkan.
Seorang instruktur memberikan petunjuk tentang langkah apa saja yang harus dilakukan jika terjadi gempa, antara lain berlindung di bawah meja sambil memegangi kaki meja erat-erat.
Tsunami
Bila gempa besar terjadi di dasar laut maka berpotensi menimbulkan tsunami. Secara harfiah, tsunami berasal dari bahasa Jepang, yang berarti ombak besar di pelabuhan. Kini, ia sudah menjadi istilah yang mendunia.
Prefektur (setara provinsi-Red) Shizuoka bisa dijadikan sebagai contoh untuk menggambarkan betapa serius pemerintah setempat dalam mengantisipasi tsunami.
Gempa terakhir terjadi pada 1854 dan menimbulkan tsunami yang memorak-porandakan kawasan pantai termasuk kota pelabuhan Numazu, sekitar 100 km barat daya Tokyo. Gempa serupa diprediksi akan kembali mengguncang Shizuoka setiap 100-150 tahun sekali.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah setempat, sampai-sampai di sepanjang pantai kota pelabuhan tersebut dibangun semacam benteng setinggi lima meter yang dilengkapi beberapa pintu gerbang kedap air. Jika gempa terjadi, sistem peringatan dini akan berbunyi dan pintu gerbang segera menutup secara otomatis.
Pohon-pohon besar terlihat banyak ditanam di dekat benteng sebagai pelindung kedua untuk meredam hantaman air bah dari laut. Selain itu, di dekat pantai banyak didirikan bangunan bertingkat khusus kedap air untuk sarana evakuasi darurat.
Bangunan-bangunan tersebut dilengkapi dengan berbagai persediaan untuk bertahan hidup, seperti makanan, selimut, tenda, obat-obatan, dan perlengkapan masak.
Yang unik, makanan persediaan darurat berupa roti, biskuit, dan bahan bubur instan tersebut diproduksi khusus sehingga mampu bertahan 25 tahun. Hal itu terlihat pada kemasannya yang mencantumkan tahun produksi 2000 dan tahun kedaluwarsa 2025.
Ya, pemerintah setempat terlihat begitu serius mempersiapkan diri melindungi warganya karena mereka yakin gempa dahsyat masih berpotensi terjadi lagi dalam waktu dekat.

Comments

  1. Saya pengen juga ke Jepang, mas Asep tinggal di sana :)

    ReplyDelete
  2. Saya tinggal di Semarang. Alhamdulillah, saya berkesempatan berkunjung ke sana selama satu bulan...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts