Harga Ponsel Murah tapi...
Selasa, 31 Oktober 2006
Dinamika Negeri Sakura (2)
KENDATI di Jepang ditawarkan aneka telepon selular (ponsel) baru berkualitas bagus dengan harga murah, jangan terburu-buru untuk membelinya jika kita berkesempatan berkunjung ke negara itu.
Harganya memang cukup murah, yakni mulai 6.000 yen atau sekitar Rp 450 ribu, tapi kartu GSM kita tak bakal cocok karena semua handset yang ditawarkan berbasis jaringan W-CDMA.
Kita boleh saja membeli ponsel tersebut, tapi jangan berharap bisa memakainya di Indonesia, karena semua ponsel dilengkapi dengan sistem pengaman khusus sehingga hanya bisa dipakai di Jepang saja. Demikian pula sebaliknya. Jika membeli kartu operator setempat, ponsel kita tidak akan conect, karena sistem jaringannya jelas berbeda.
Beberapa operator di negara itu menawarkan handset gratis, tapi kita harus berlangganan minimal tiga bulan. Sayang, syarat berlangganannya cukup sulit bagi para pendatang, karena harus disertai photo copy KTP orang Jepang sebagai penjamin. Itu yang merepotkan. Apalagi jika kita hanya berada di negara itu untuk beberapa minggu, padahal syarat berlangganan minimal tiga bulan.
Sebenarnya ada solusi agar kita tetap bisa memakai kartu GSM di Jepang, yakni meminjam ponsel khusus yang disediakan di Bandara Internasional Narita, Tokyo. Sayang, biaya sewanya mahal, yakni 600 yen atau sekitar Rp 45 ribu/hari.
Belum lagi kita harus memikirkan biaya percakapan internasional yang bisa mencapai puluhan ribu rupiah per menit, dan syarat penyertaan photo copy KTP orang Jepang sebagai penjamin.
Etika Berponsel
Jika di Indonesia kita sering terganggu oleh dering ponsel atau suara keras orang yang sedang berbicara via ponsel, tidak demikian dengan di Jepang. Selain banyak peraturan yang melarang hal-hal semacam itu di ruang publik, masyarakat lebih banyak memanfaatkan ponsel untuk bertukar data dan browsing internet ketimbang percakapan.
Suatu saat ketika saya bertanya soal short message service (SMS) dengan Naoko Niimi, ibu angkat saya di Itabashi, Tokyo, dia malah bingung. Ternyata orang Jepang tidak mengenal istilah SMS. Untuk berkirim pesan via ponsel, mereka menggunakan fasilitas e-mail atau pesan singkat multimedia.
''Dengan fasilitas itu saya bisa mengirim teks plus gambar, suara, atau video sekaligus,'' ujar Naoko.
Ya, sistem selular generasi ketiga (3G) yang baru-baru ini mulai diberlakukan di Indonesia telah diterapkan di Jepang sejak 2001, sehingga fasilitas akses internet pita lebar (broad band) sudah sangat terbiasa dilakukan via ponsel.
Internet
Berbicara soal internet, hampir setiap rumah tangga di Tokyo berlangganan internet serat optik berkecepatan 100 Mbps. Biaya langganannya 6.000 yen atau Rp 450 ribu/bulan, dan akses tidak dibatasi oleh jumlah kilobyte yang dipakai. Ongkos yang cukup murah, mengingat pendapatan rata-rata warga biasa di Tokyo di atas Rp 15 juta/bulan.
Di Indonesia, biaya berlangganan internet mahal, bahkan bisa dibilang termahal dibanding negara-negara lain. Biaya internet sistem dial-up sekitar Rp 9.000/jam, padahal kecepatannya masih lambat. Dengan pendapatan masyarakat yang rendah, biaya sebesar itu tergolong mahal.
Kendati demikian, Tokyo Metropolitan boleh dibilang pelit dalam urusan penyediaan fasilitas akses internet nirkabel (hotspot) gratis bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Jepang.
Saat mendarat di Bandara Narita, saya mencoba mencari sinyal penyedia hotspot melalui laptop wireless fidelity (Wi-Fi) yang saya bawa untuk mengakses internet.
Sinyal ditemukan, namun sayang saya harus membayar cukup mahal untuk mendapatkan password yang diperlukan. Demikian pula ketika hendak melakukan hal yang sama di beberapa hotel dan mal di Tokyo. Padahal ketika saya berada di kota-kota lain di Jepang bagian tengah dan selatan seperti Toyama, Tsukuba, dan Fukuoka, banyak akses hotspot yang disediakan secara bebas dan gratis. Kereta JR Express menuju "Kota Riset" Tsukuba juga menyediakan hotspot gratis.
Bukan apa-apa, akses internet yang cepat dan murah sangat dibutuhkan untuk mencari data pendukung guna menyelesaikan tugas saya sehari-hari selama sebulan mengikuti program NSK-CAJ Fellowship di Jepang.
Harganya memang cukup murah, yakni mulai 6.000 yen atau sekitar Rp 450 ribu, tapi kartu GSM kita tak bakal cocok karena semua handset yang ditawarkan berbasis jaringan W-CDMA.
Kita boleh saja membeli ponsel tersebut, tapi jangan berharap bisa memakainya di Indonesia, karena semua ponsel dilengkapi dengan sistem pengaman khusus sehingga hanya bisa dipakai di Jepang saja. Demikian pula sebaliknya. Jika membeli kartu operator setempat, ponsel kita tidak akan conect, karena sistem jaringannya jelas berbeda.
Beberapa operator di negara itu menawarkan handset gratis, tapi kita harus berlangganan minimal tiga bulan. Sayang, syarat berlangganannya cukup sulit bagi para pendatang, karena harus disertai photo copy KTP orang Jepang sebagai penjamin. Itu yang merepotkan. Apalagi jika kita hanya berada di negara itu untuk beberapa minggu, padahal syarat berlangganan minimal tiga bulan.
Sebenarnya ada solusi agar kita tetap bisa memakai kartu GSM di Jepang, yakni meminjam ponsel khusus yang disediakan di Bandara Internasional Narita, Tokyo. Sayang, biaya sewanya mahal, yakni 600 yen atau sekitar Rp 45 ribu/hari.
Belum lagi kita harus memikirkan biaya percakapan internasional yang bisa mencapai puluhan ribu rupiah per menit, dan syarat penyertaan photo copy KTP orang Jepang sebagai penjamin.
Etika Berponsel
Jika di Indonesia kita sering terganggu oleh dering ponsel atau suara keras orang yang sedang berbicara via ponsel, tidak demikian dengan di Jepang. Selain banyak peraturan yang melarang hal-hal semacam itu di ruang publik, masyarakat lebih banyak memanfaatkan ponsel untuk bertukar data dan browsing internet ketimbang percakapan.
Suatu saat ketika saya bertanya soal short message service (SMS) dengan Naoko Niimi, ibu angkat saya di Itabashi, Tokyo, dia malah bingung. Ternyata orang Jepang tidak mengenal istilah SMS. Untuk berkirim pesan via ponsel, mereka menggunakan fasilitas e-mail atau pesan singkat multimedia.
''Dengan fasilitas itu saya bisa mengirim teks plus gambar, suara, atau video sekaligus,'' ujar Naoko.
Ya, sistem selular generasi ketiga (3G) yang baru-baru ini mulai diberlakukan di Indonesia telah diterapkan di Jepang sejak 2001, sehingga fasilitas akses internet pita lebar (broad band) sudah sangat terbiasa dilakukan via ponsel.
Internet
Berbicara soal internet, hampir setiap rumah tangga di Tokyo berlangganan internet serat optik berkecepatan 100 Mbps. Biaya langganannya 6.000 yen atau Rp 450 ribu/bulan, dan akses tidak dibatasi oleh jumlah kilobyte yang dipakai. Ongkos yang cukup murah, mengingat pendapatan rata-rata warga biasa di Tokyo di atas Rp 15 juta/bulan.
Di Indonesia, biaya berlangganan internet mahal, bahkan bisa dibilang termahal dibanding negara-negara lain. Biaya internet sistem dial-up sekitar Rp 9.000/jam, padahal kecepatannya masih lambat. Dengan pendapatan masyarakat yang rendah, biaya sebesar itu tergolong mahal.
Kendati demikian, Tokyo Metropolitan boleh dibilang pelit dalam urusan penyediaan fasilitas akses internet nirkabel (hotspot) gratis bila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Jepang.
Saat mendarat di Bandara Narita, saya mencoba mencari sinyal penyedia hotspot melalui laptop wireless fidelity (Wi-Fi) yang saya bawa untuk mengakses internet.
Sinyal ditemukan, namun sayang saya harus membayar cukup mahal untuk mendapatkan password yang diperlukan. Demikian pula ketika hendak melakukan hal yang sama di beberapa hotel dan mal di Tokyo. Padahal ketika saya berada di kota-kota lain di Jepang bagian tengah dan selatan seperti Toyama, Tsukuba, dan Fukuoka, banyak akses hotspot yang disediakan secara bebas dan gratis. Kereta JR Express menuju "Kota Riset" Tsukuba juga menyediakan hotspot gratis.
Bukan apa-apa, akses internet yang cepat dan murah sangat dibutuhkan untuk mencari data pendukung guna menyelesaikan tugas saya sehari-hari selama sebulan mengikuti program NSK-CAJ Fellowship di Jepang.
Lah aslinya mas Asep ini orang Indonesia atau Jepang?
ReplyDeleteOrang Indonesia, dong... Namanya saja Asep...
ReplyDelete