Korona Mengubah Rencana Dunia
Tulisan ini dimuat di SM, refleksi akhir tahun berita internasional 2020.
SEMUA tentu sepakat, Covid-19 merupakan persoalan yang paling banyak menguras perhatian dunia sepanjang tahun 2020. Hampir tidak ada negara yang luput dari serangan SARSCoV- 2, nama varian virus korona penyebab penyakit coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Menurut data worldometers, per 23 Desember 2020, total kasus akumulatif di seluruh dunia mencapai 78,3 juta kasus dan Amerika Serikat (AS) menempati urutan pertama dengan 18,6 juta kasus. Sedangkan Indonesia menempati urutan ke- 20 dengan 678.125 kasus. Setahun sudah Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Tiongkok, menjadi pandemi yang merongrong dunia namun hingga kini grafik kasusnya masih belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan kendati berbagai upaya untuk memutus mata rantai penularannya terus dilakukan.
Baca juga: Covid-19, SARS, MERS
Keberhasilan sejumlah negara dan perusahaan dalam mengembangkan vaksin antivirus memberikan harapan, namun baru segelintir negara mampu melakukan vaksinasi mengingat proses pengembangan dan uji klinisnya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Inggris menjadi negara pertama yang melakukan vaksinasi massal pada 8 Desember dengan menggunakan vaksin Pfizer- BioNTech buatan kolaborasi perusahaan AS-Jerman. Negara itu juga menunggu hasil uji tahap akhir vaksin yang dikembangkan sendiri oleh Universitas Oxford dan Astra- Zeneca untuk pengadaan lebih lanjut. Negara-negara lain yang telah memulai vaksinasi massal nasional pada bulan Desember antara lain Bahrain, AS, Kanada, Arab Saudi, dan Rusia. Kendati 1,2 juta dosis vaksin Sinovac buatan Tiongkok sudah mendarat di Indonesia pada 6 Desember lalu, pemerintah masih menunggu izin edar dari BPOM dan sertifikasi halal dari MUI.
Semua negara memberlakukan langkah-langkah pencegahan penularan Covid-19. Di antaranya penguncian wilayah atau lockdown dan penundaan berbagai kegiatan antarbangsa yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Arab Saudi meniadakan kegiatan ibadah haji tahun ini dan melakukan pembatasan ibadah umrah. Secara ekonomi, langkah tersebut tentu membuat Arab Saudi kehilangan pemasukan yang signifikan apalagi harga minyak yang menjadi andalan utama negara itu mengalami penurunan. Jepang juga menunda Olimpiade Tokyo 2020 yang sedianya diselenggarakan pada Juli lalu dan rencananya baru akan menggelarnya pada Juli tahun depan. Penundaan ajang olahraga empat tahunan tersebut membuat Jepang berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 27 triliun.
Mutasi Virus
Kendati vaksin antivirus korona telah berhasil dikembangkan, kekhawatiran baru muncul setelah ditemukan mutasi baru virus korona di Inggris baru-baru ini. Varian virus terbaru ini dikabarkan dapat menyebar lebih cepat sekitar 70 persen dibanding virus korona sebelumnya. Inggris pun kembali memberlakukan lockdown secara ketat dan sejumlah negara melarang warganya untuk bepergian ke Inggris. Tidak hanya di Inggris, mutasi virus juga ditemukan di sejumlah negara Eropa seperti Belgia, Belanda, dan Italia.
Selain pandemi Covid-19, persoalan yang juga cukup menyita perhatian dunia adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sebenarnya telah berlangsung sekitar tiga tahun terakhir. Hubungan antara kedua negara menurun tajam pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Perang dagang berawal ketika Doland Trump merasa kecewa dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan Tiongkok. Sehingga dia memilih kebijakan keras dengan melakukan proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS. Dia memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor berbagai komoditi dari Tiongkok seperti panel surya dan mesin cuci yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen.
Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai. Tiongkok membalas langkah Trump tersebut dengan menaikkan tarif produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS seperti almond dan apel. Sejumlah perundingan dilakukan sepanjang 2019 namun tidak kunjung menghasilkan kesepakatan yang memuaskan. Sampai akhirnya pada pertengahan Januari 2020, kedua negara menandatangani kesepakatan damai dagang fase I. Kendati kesepakatan fase I sudah diteken oleh kedua belah pihak, AS tetap akan mengenakan tarif atas barang impor Tiongkok hingga ada perjanjian fase II. Namun, kondisi pandemi Covid- 19 yang terus menguras tenaga, waktu, dan biaya sepertinya membuat kedua negara enggan membahas kesepakatan dagang fase II.
Diharapkan dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden baru AS yang akan mulai resmi menjabat pada 20 Januari 2021, ketegangan antara kedua negara bisa lebih terkendali mengingat karakter Biden yang lebih lunak dan toleran dibanding Trump. Beberapa bulan menjelang akhir tahun 2020 juga diwarnai dengan langkah-langkah mengejutkan sejumlah negara Arab yang memutuskan untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Ditengahi AS, Uni Emirat Arab (UEA) mulai melakukan normalisasi dengan Israel pada September 2020 dan disusul Bahrain.
UEA dan Bahrain menjadi negara Arab pertama dalam seperempat abad terakhir yang menandatangani perjanjian untuk menjalin hubungan formal dengan Israel. Langkah itu kemudian diikuti oleh Sudan, Maroko, dan Bhutan. Bagi bangsa Palestina, langkah tersebut merupakan pengkhianatan. Mereka merasa ditinggalkan oleh negara-negara yang selama ini diandalkan untuk membantu mewujudkan bangsa Palestina yang merdeka dari belenggu Israel. Menurut pemikiran AS, normalisasi tersebut adalah bagian dari rencana mereka untuk menciptakan kedamaian di Timur Tengah.
Dalam visi Presiden Donald Trump, Israel akan menjadi figur ”penjaga perdamaian” di Timur Tengah sehingga negara-negara Arab perlu didekatkan ke Israel. Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi setuju dengan visi tersebut bahkan memujinya. Menurut dia, kesepakatan normalisasi hubungan menjadi langkah penting yang diharapkan bisa mengonsolidasikan stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah. Dalam kesepakatan normalisasi, Israel berjanji tidak akan mencaplok Palestina.
Hal itu disebut-sebut menjadi salah satu alasan mengapa negara-negara Arab akhirnya terbujuk untuk merapat ke Tel Aviv. Walau begitu, ada keuntungan- keuntungan lain juga yang ditawarkan lewat normalisasi tersebut. Beberapa pihak memprediksi sejumlah negara juga akan mengikuti langkah yang sama pada tahun 2021. The Guardian bahkan mengangkat analisis tentang kemungkinan Indonesia dan Oman membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Namun Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia berulang kali mengeluarkan pernyataan yang membantah kemungkinan normalisasi hubungan tersebut. Menlu Retno Marsudi menegaskan Indonesia akan tetap berpegang pada solusi dua negara dan parameter internasional lain yang telah disepakati. (Asep Bina Septriono)
Comments
Post a Comment